Rabu, 23 November 2011

Perjalanan rantauku... (one)

Mataku terpejam sebentar. Aku tersenyum lagi ketika ibu dan bapakku memelukku erat, melepas kepergianku. Aku akan merantau ke Jawa. Aku sudah bosan dengan kehidupanku di Kalimantan yang sehari-hari hanya beternak sapi, dan mengurus sawah kecil untuk kehidupan.
Walaupun itu tidak bisa disebut kehidupan, bagiku. Hidup itu untuk sukses. Di dunia dan akhirat tentunya. Ibu menyelipkan dua lembar uang seratus ribu di jemariku.
"Untuk bekal nak.." Kata ibuku. Butiran-butiran bening jatuh dari matanya. "Maaf ibu dan bapak hanya punya uang segini.. Semoga sukses, anakku."
Bapak menepuk bahuku. "Kami disini mendoakanmu,"
Aku mengangguk pelan. Menahan tangis, tapi aku tidak bisa. Aku sangat malu, kenapa aku harus menangis? Aku kan laki-laki? Tidak, hentikan tangismu, mat.
Rahmat, itu namaku. Kata ibu, rahmat berarti yang dirahmati. Tapi aku berpikir lagi. Benarkah aku dirahmati? Sekarang bukan waktunya untuk membicarakan itu. Jadi aku melukis senyuman kecil di bibirku.
"Assalamualaikum, bapak, ibu." Aku berbalik memulai langkah pertama perantauan ku. Beberapa kali aku melirik bapak dan ibu yang masih terus melambai padaku.
Aku tidak bisa kembali lagi sebelum aku sukses. ya, benar! Berlarilah, Mat!
Jadi aku berlari kencang, lebih kencang, dan lebih kencang lagi ketika akhirnya aku menabrak sebuah pohon karena tidak melihat jalan. Aku mengelus kepalaku yang sedikit benjol.
Aku meringis. Perih sekali. kalau ada ibu disampingku, ibuku pasti akan memberiku ramuan sirih dan mengusapkanya di lukaku sambil membaca bismillah. Seketika, rasa sakit itu langsung hilang.
Ada sedikit rencana kembali ke rumah untuk meminta ramuan sirih ibu, tapi aku segera ingat tujuanku dan aku membuang niat itu.
Terbentur pohon saja mau pulang, gimana majunya mat??! Tanyaku dalam hati. Aku berjalan lagi. Menenteng ransel tuaku dan keranjang berisi bekal makanan buatan ibu. Isinya rendang dan abon ikan. Lalu aku juga dibawakan beberapa botol air mineral.
Aku kembali teringat pesan ibu untuk tidak boros dan hidup sesuai aturan agama. Aku mengangguk sendiri, berjanji bahwa aku memegang erat nasihat ibu itu.

Aku merasakan nafasku bergetar, jantungku berdetak cepat sekali. Sudah berjam-jam aku berjalan. Tujuanku adalah kota Banjar tapi aku belum juga menemukanya. Aku melewati sawah-sawah, menembus semak semak dan segalanya tapi tanda-tanda bahwa aku sudah dekat di kota tidak muncul muncul juga.
Rasa putus asa serta kecewa sudah mulai muncul. Tiba-tiba aku terpikir kata-kata bapak sebelum aku berangkat tadi. bertanyalah jika tidak tahu jalan. Aha!
Aku segera berlari lagi mencari seseorang untuk ditanyai. Lalu aku bertemu seorang yang juga membawa ransel sepertiku.
"Permisi, kota Banjar dimana?" Tanyaku pada laki-laki itu.
"Oh," aku baru tahu kalau orang itu sedang melamun. "Banjar? Sudah dekat nih, sudah terdengar suara mobil."
"hah?" Aku menengok ke barat. Dan ternyata benar!

To Be Continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jangan cuma baca, komentar juga doong..! bagi saya, komentar itu membuat saya senang