Sabtu, 09 Juli 2011

Finally, I have a friend (story 4)

"Jansen, ibu dengar kau remidi kemarin?" Tanya ibu tiriku sambil menyobek-nyobek kertas ulanganku yang bertuliskan angka 69.
"Eng... Iya bu, kemarin saya ketiduran, jadi tidak belajar..." Jawabku dengan hati-hati.
Plakk!!
Ibuku menamparku dengan keras sehingga terlihat ada bekas cap tangan bewarna merah dipipiku. "Kamu ini, kamu kan peraih nilai tertinggi! Kalau nilaimu jeblok begini, kan malu-maluin! Ibu harus bilang apa ke tetangga??! Hah??"
"Maaf bu..." Ucapku pelan seraya mengelus elus pipiku.
Ibuku tidak mendengarkan permintaan maafku. Malah beliau langsung melengos pergi dan menghujaniku dengan kertas ulanganku yang sudah dirobek-robek.
Aku membuka buku diaryku. Hadiah ulang tahunku yang ke lima. Dari orang tua kandungku. Aku langsung menangis melihat buku diary itu. Penuh kenangan. Di dalam buku itu terdapat fotoku dan keluargaku. Ada foto saat aku dan kakakku memungut sampah bersama. Dulu, ayahku mempunyai sebuah kamera jadul yang harganya murah. Tidak sampai satu juta. Lalu ada foto ibuku sedang tersenyum saat memasak, dan aku digendong dibelakangnya. Aku masih bisa merasakan kehangatan keluargaku dari buku ini.
Dulu, saat aku mendapat nilai jelek, ibu kandungku tidak pernah memukul atau menamparku. Beliau menasihatiku bahwa esok hari aku harus menjadi lebih baik. Dan itulah mottoku.
Tiba-tiba kakak tiriku memanggil.
"Heeeeeeiiii, bodoooooh! Cepat kebawah, cuci bajukuuuu!!" Pertama, aku cuma terdiam dan menahan pintu agar tidak dibuka tiba-tiba.
"Heeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeeiiii, yang diatas itu tuli apaaaaaaaa??!" Lalu aku duduk di depan pintu sambil memegang diaryku.
Beberapa lama, tak terdengar lagi suara kakakku. Mungkin dia capai memanggilku. Hahaha... Cepat sekali menyerah. Setelah kurasa aman, aku berdiri dari depan pintu dan membuka-buka lagi bukuku.
Tapi, tindakanku salah, kakakku kini muncul dihadapanku! Kini dia membawa gunting tajam. Aku kaget, bagaimana bisa... Rupanya kakakku memanjat keatas jendela kamarku. Hal itu kutafsirkan karena aku meliat jendela kamarku terbuka lebar.
"Serahkan buku itu untuk kucabik-cabik, atau tubuhmu yang kucabik-cabik dengan gunting ini!" Ancam kakakku sambil mengacungkan gunting yang ujungnya berkilau diterpa sinar matahari. "Kuhitung sampai tiga... Satu... Dua...."
Bagaimana ini?? Aku nggak mau menyerahkan diaryku, dan aku nggak mau mati dicabik-cabik. Tapi, yang harus kulakukan adalah...
Setttt!!
Dengan cepat, aku menyambar gunting yang dipegang kakakku. "Ahhaa... Siapa bilang aku mau merelakan tubuh atau diaryku, tidak akan!!"
Kakakku langsung ketakutan sambil berlari keluar kamar. Aku segera mengunci pintu loteng, atau pintu kamarku jelasnya.
Aku menarik nafas lega. Sambil memeluk diaryku. Selamat.... Hampir saja.
Besoknya.
Aku sedang menggambar kelinci di sebuah kertas yang kutemukan dibawah meja. Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku.
"Hai, gambarmu bagus." Dia duduk disebelahku. "Boleh aku duduk disini?"
"Ah, boleh saja... Makasih, gambarku biasa saja..." Ujarku.
"Namamu siapa?"
"Aku... Ng, Jensen.."
"Wahh anak baru ya? Aku senang sekali kalau aku ada anak baru." Jelas gadis itu. "Namaku Rani."
"Salam kenal, Rani."
"Ya, salam kenal juga.."
Wah, siapa ini... Kenapa dia tiba-tiba duduk disebelahku dan bertanya namaku. Selama sebulan ini, tak ada yang menanyakan namaku atau duduk disebelahku.
"Jansen..."
"Ya?"
"Kemarin kau ditampar ibumu karena nilaimu jelek ya?" Tanya Rani dengan penasaran. Aku terdiam sebentar, lalu menjawab dengan jujur.
"Ya, dan itu bukan bukan ibu kandungku, tapi itu ibu tiri." Jawabku jujur.
"Kemarin aku dengar kamu menangis ambil panggil-panggil ibumu dari rumahku. Oh iya, rumah kita berdekatan lho.." Ujar Rani terseyum.
"Hah? Benarkah? Waah... Um.." Aku menatap wajah Rani yang lonjong. Sebenarnya aku mau mengajaknya berteman tapi...
"Mau jadi temanku?" Tawar Rani. Aku berhenti memandang Rani. Lalu tersenyum lebardan mengangguk.
"Okay, yuk ke perpus!" Ajaknya. Dia menggandeng tanganku.

2 komentar:

Jangan cuma baca, komentar juga doong..! bagi saya, komentar itu membuat saya senang